MEDAN || DATAPOST.ID – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara kembali menghentikan penuntutan 4 perkara dengan pendekatan humanis berdasarkan Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice (RJ) atau Keadilan Restoratif.
Sebelum dilakukan penghentian penuntutan terhadap tersangka, Kejati Sumut terlebih dahulu melakukan Ekspose perkara yang disampaikan Kajati Sumut Idianto, SH, MH melalui Wakajati Sumut Drs. Joko Purwanto, SH, didampingi Aspidum Luhur Istighfar SH, M.Hum, dan para Kasi pada bidang Pidum Kejati Sumut kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) RI, Dr. Fadil Zumhana melalui Video Conference (Vidcorn), Selasa (10/10/2023).
Kepada media datapost.id, Kajati Sumut Idianto, SH, MH melalui Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan SH, MH membenarkan bahwa Kejati Sumut telah menghentikan penuntutan terhadap 4 perkara dari jajaran instansi di Lingkungan Kejati Sumut.
“Ya benar, sebelum menghentikan penuntutan terhadap 4 tersangka dari instansi jajaran di Lingkungan Kejati Sumut, telah dilakukan ekspos perkara yang disampaikan kepada Jampidum RI,” ungkap Yos.
Lebih lanjut Yos A Tarigan menyampaikan, bahwa perkara yang diajukan adalah darI Kejaksaan Negeri Medan dengan tersangka Halomoan, melanggar Pasal 44 ayat (4) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kemudian perkara dari Cabang Kejaksaan Negeri Mandailing Natal di Kotanopan atas nama tersangka Amiluddin, melanggar Pasal 362 KUHPidana. Selanjutnya perkara dari Kejari Simalungun, yakni kasus pencurian kelapa sawit dengan tersangka atas nama Rafik Zahari.
Dan terakhir perkara dari Cabang Kejaksaan Negeri Deli Serdang di Labuhan Deli atas nama tersangka Ratno Syahputra alias Dedy, melanggar Pasal 111 UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 KUHPidana,
yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari hasil penjarahan atau pencurian, Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp7.000.000.000 (tujuh miliar rupiah.
Atau
Pasal 107 Huruf d UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 KUHPidana, yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan memanen/memungut hasil perkebunan secara tidak sah, Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000 (empat miliar rupiah).
Dijelaskan Yos, dalam menerapkan Perja No. 15 tahun 2020 itu, tidak semudah yang dibayangkan. Karena perlu proses dan tahapan yang jelas agar tidak sampai terjadi kesalahan. “Bukan kuantitasnya yang diutamakan, tapi kualitas dari perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan sisi kemanusiaan. Misalnya, seorang ayah mencuri berondolan kelapa sawit milik perkebunan swasta atau BUMN, dari hasil jual berondolan ia mendapatkan uang Rp120. 000 untuk membali beras demi keberlangsungan dapurnya tetap bisa berasap (bisa makan dengan keluarganya),” ujar Yos.
Untuk perkara seperti ini, sambung Yos, JPU perkaranya harus melihat esensi dari kasus yang ditangani, kenapa si ayah tadi mencuri. Berpijak pada alasan kemanusiaan, jaksa dituntut untuk menggunakan hati nuraninya. “Karena, kalau si ayah tadi dimasukkan ke penjara, ada dua alternatif yang menjadi dampaknya. Bertobat atau malah makin jahat dikemudian hari. Jaksa Agung dengan menjalankan program ini sudah banyak menolong orang agar tidak sampai masuk penjara, dimana antara tersangka dan korbannya dimediasi untuk berdamai dan tidak ada dendam di kemudian hari,” tandasnya.
Kemudian Yos mengungkapkan, untuk memediasi perkara-perkara tindak pidana ringan yang hukumannya dibawah lima tahun, Kejati Sumut juga sudah membentuk rumah Restorative Justice. Dimana baru-baru ini Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) telah meresmikan Rumah RJ di Kabupaten Samosir.
Seperti diutarakan di awal, kata Yos melanjutkan, bahwa penghentian penuntutan dengan pendekatan RJ di wilayah hukum Kejati Sumut sudah mencapai 101 perkara. Untuk urutan teratas dengan jumlah RJ tertinggi adalah Kejari Asahan dengan 10 perkara, disusul Kejari Langkat dan Cabjari Deli Serdang di Labuhan Deli masing-masing 9 perkara, selanjutnya Kejari Simalungun 8 perkara, kemudian disusul Kejari Labuhan Batu sebanyak 7 perkara.
Sementara Kejari dan Cabjari lainnya yang ada dibawah wilayah hukum Kejati Sumut, bervariasi dari 1 perkara sampai 6 perkara.
Dikatakan Yos, untuk proses penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif, dilakukan secara berjenjang dengan syarat utama, tersangka belum pernah melakukan tindak pidana dan ancaman hukumannya dibawah lima tahun.
“Setelah perkara yang diusulkan dan disetujui oleh JAM Pidum, kesepakatan damai antara tersangka dan korban akan menciptakan harmoni di tengah masyarakat dan tidak ada lagi rasa dendam berkepanjangan,” tegasnya mengakhiri. (Lubis).