MEDAN II DATAPOST.ID – PAGI TADI, Kamis (24/04/2025) dalam sebuah pertemuan yang hangat dan tak sengaja di Kantor Gubernur Sumut di jln Diponegoro, di bangku ruang tunggu tepatnya di depan Front desk namun pembicaraan penuh keprihatinan.
Kami bertemu dengan beberapa General Manager hotel ternama di Kota Medan, antara lain GM salah satu hotel, Owner Hotel yang di wilayah Kuala Namo serta beberapa perwakilan hotel lainnya.
Dalam diskusi tersebut, mereka menyampaikan keresahan mendalam terkait kondisi yang tengah mereka hadapi saat ini.
Penurunan omzet secara drastis telah menghantam industri perhotelan, terutama akibat kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan pemerintah.
Event-event yang sebelumnya rutin digelar di hotel kini menghilang, meninggalkan para pelaku usaha dengan beban overhead yang berat—listrik, air (PAM), hingga tanggungan karyawan yang tak bisa begitu saja dirumahkan karena beban pesangon yang tinggi.
Mereka adalah para penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup signifikan. Namun saat ini, mereka berada dalam posisi yang serba salah.
Aspirasi sudah mereka sampaikan ke DPRD, namun tak membuahkan hasil. Bahkan, ketika kami menanyakan apa harapan mereka jika bertemu Gubernur, tak satu pun dari mereka mampu menjawab dengan optimisme, selain berharap agar kegiatan Pemprov dan Pemda kembali seperti sebelumnya.
Salah satu cerita menyentuh kami, “Dulu kami habiskan 100 ton ayam potong per minggu, diantar dengan mobil box. Sekarang? Diantar dengan becak motor, bahkan hanya cukup dengan kereta.” Ini bukan sekadar cerita tentang bisnis, melainkan tentang rantai ekonomi yang terputus.
Saya dan Dr. Sujat Harto mantan kepala Crisis Centre Sumut / Emergency Centre menyimak dan meresapi setiap cerita. Kami prihatin. Maka dari itu, saya secara pribadi mendorong agar para pelaku industri perhotelan menyuarakan keadaan ini dalam bentuk forum seminar atau pertemuan terbuka.
Biarlah publik dan pengambil kebijakan tahu bahwa efisiensi anggaran telah menimbulkan efek domino yang luas dan mendalam.
Sayangnya, lembaga legislatif pun seolah kehilangan taring, bersikap pasif dan terkesan hanya asal bos senang (ABS). Ini ironi yang nyata.
Di akhir pertemuan, setelah surat tanda terima diserahkan ke Biro Umum, saya dan rekan hanya bisa saling memandang, memikirkan nasib bukan hanya hotel, tapi potensi rakyat dan relawan bencana yang tetap berdiri paling kuat, walau seringkali terasa seperti “sakit tapi tak berdarah”..gelaknya.
Semoga jeritan ini menjadi panggilan nurani. Dan semoga ada ruang kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat.
Salam Prihatin dan Solidaritas…. (*)