DATAPOST.ID MEDAN — Berhasil mengangkat berbagai kasus besar di Tanah Air, kini Kejaksaan Agung Republik Indonesia makin menunjukkan taringnya. Saat ini lembaga Adhyaksa sedang menelaah kasus dugaan korupsi Sumber Daya Alam (SDA) yang dilaporkan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) pada Jumat, 7 Maret 2025 kemarin.
Teranyar, kasus tambang PT Timah telah diusut Kejagung RI yang menyeret beberapa petinggi perusahaan BUMN dan pengusaha dengan kerugian negara ratusan triliun rupiah. Pelaku dikurung dan kerugian negara dikejar agar dikembalikan.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Harli Siregar mengaku, laporan WALHI telah ditelaah oleh bidang terkait di lembaga pimpinan ST. Burhannudin ini.
“Laporan/pengaduan dari Walhi sdh kami teruskan ke bidang Terkait itk ditelaah,” kata petinggi Kejagung RI yang merupakan Putra Sumut ini, Sabtu (15/03/2025) via pesan WhatsAppnya.
Sebelumnya, Kejagung RI telah menerima laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengenai 47 korporasi yang diduga terlibat korupsi Sumber Daya Alam (SDA) dan merusak lingkungan. Walhi memperkirakan, kerugian negara karena korupsi SDA dan kerusakan lingkungan hingga mencapai Rp437 triliun.
Harli Siregar membenarkan adanya pelaporan Walhi ke Kejaksaan Agung. “Terhadap laporan atau pengaduan tersebut, tentu akan ditelaah atau dikaji terlebih dahulu,” ujarnya dikonfirmasi wartawan, Minggu 9 Maret 2025 lalu.
Harli menuturkan, Walhi menyerahkan laporan itu melalui Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung. Dia juga mengaku akan meneruskan pengaduan tersebut ke pimpinan bidang terkait.
Dalam laporan ke Kejagung RI, diduga salah satu perusahaan tambang yang dilaporkan adalah pengelola kontrak karya Tambang Emas Martabe di Batang Toru Kabupaten Tapsel Sumut PT Agincourt Resources.
Pasalnya, sebelum melapor ke Kejagung RI, WALHI Sumut melakukan aksi menolak ekspansi Tambang Emas Martabe Tapanuli Selatan di Kementerian ESDM RI Jakarta. Aksi ini, pengakuan WALHI didukung 190.000 konstituen di Indonesia dan belahan dunia melalui akun media sosial.
PT AGINCOURT RESOURCES BUNGKAM
Tak ada tanggapan manajemen PT Agincourt Resources menangapi laporan WALHI ke Kejaksaan Agung RI.
Humas PT Agincourt Resources (AR), Glora Natalia tak menjawab konfirmasi wartawan yang dilayangkan pada Jumat (14/03/2025). Oca sapaan akrab Humas Tambang Emas Martabe yang biasa cepat menanggapi konfirmasi wartawan mendadak tak merespon meski terlihat 2 centang biru dilaman medsosnya itu.
Sebelumnya, Glora Natalia menyampaikan tanggapan dan statemen dari Senior Manager Corporate Communications Agincourt Resources, Katarina Siburian Hardono, Jumat (14/03/2025) pagi mengatakan, pengelola dan pemegang kontrak karya Tambang Emas Martabe (TEM) menghormati hak setiap individu dan kelompok untuk menyuarakan aspirasi secara damai.
Dijelaskannya, TEM seluruhnya berada dalam kawasan APL (Areal Penggunaan Lain), klasifikasi yang mengizinkan pengembangan dan pembukaan lahan dibawah pemantauan ketat pihak berwenang. PTAR beroperasi sesuai peraturan yang berlaku dan standar terbaik di industri pertambangan.
“Kami selalu mengacu pada Kode Praktik Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang bertujuan melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan manfaat jasa ekosistem, dan mendukung pengelolaan sumber daya alam hayati yang berkelanjutan,” ujarnya sembari meminta wartawan mengungi website https://agincourtresources.com/biodiversity
Dikatakannya lagi, sejak 2015 TEM ditetapkan sebagai Obvitnas (Objek Vital Nasional) sektor energi dan sumber daya mineral oleh Pemerintah Republik Indonesia.
“PTAR terus berdialog secara konstruktif, menyelaraskan persepsi, berkolaborasi dan memberdayakan pemangku kepentingan, guna mewujudkan pertambangan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan,” bebernya.
Ditanya, adakah serapan dari aspirasi lembaga lingkungan hidup ini dalam konsep ke depan PT AR, apakah PT AR hanya konsen di statemen pemegang kontrak karya, wilayah APL tanpa memikirkan habibat alam disana dan apa tanggapan PT AR, atas upaya melestarikan orang utan Tapanuli yang digaungkan Walhi? Adakah upaya PT AR mendukung hal itu, Gloria Natalia tak langsung menanggapi, dia hanya meminta media ini merujuk statemennya sebelumnya.
“Silakan merujuk statement kami di atas ya, bang. terima kasih,” pungkasnya.
TAK ADA KEWENANGAN
Kadisperindag ESDM Sumut melalui Kabid ESDM Agus Sihombing, Sabtu (15/03/2025) mengaku bahwa instansi mereka tak memiliki kewenangan atas perizinan mineral dan logam. “Sesuai amanat Perpres Nomor 55 Tahun 2022 untuk mineral logam tidak ada kewenangan perizinan sama kami/provinsi pak,” jawabnya via pesan WhatsApp sembari merujuk kiriman softcopy Perpres No. 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Diberitakan sebelumnya, WALHI Eksekutif Nasional bersama Pengurus Walhi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Babel, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bali, NTT, NTB, Maluku Utara dan WALHI Papua melaporkan 47 korporasi perusak lingkungan dan juga terindikasi melakukan korupsi Sumber Daya Alam ke Kejaksaan Agung.
Korporasi-korporasi ini bergerak di sektor Perkebunan sawit skala besar, pertambangan (batu bara, emas, timah, dan nikel), kehutanan, pembangkit listrik, perusahaan penyedia air bersih, pariwisata. WALHI mengestimasi potensi kerugian negara dari indikasi korupsi SDA oleh 47 korporasi sebesar Rp437 Triliun.
Dalam paparannya, Direktur Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi dikutip dalam press realeasenya, modus operandi dugaan korupsi dan gratifikasi, antara lain merubah status kawasan hutan melalui revisi tata ruang ataupun pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta kerja, gratifikasi dengan pembiaran aktivitas tanpa izin, pemberian izin meski tidak sesuai dengan tata ruang, dan lainnya.
Bukan hanya itu, WALHI juga menjelaskan kepada pihak Kejaksaan Agung modus yang lebih besar lagi dengan mengubah atau membentuk beberapa produk hukum yang didalamnya diatur pasal-pasal yang mengakomodasi kepentingan eksploitasi SDA dan pengampunan pelanggaran, atau yang biasa disebut State Capture Corruption.
“Kita tidak bisa hanya melaporkan kasus per kasus, tapi juga harus mencari modus operandi dari kartel-kartel yang mengkonsolidasikan praktek korupsi tersebut. Dari tahun 2009 kami melihat proses menjual tanah air itu akan terus berlangsung terhadap 26 juta hektar hutan Indonesia,” katanya.
Korupsi di sektor SDA ini telah merugikan negara dan perekonomian negara dengan hilangnya mata pencaharian rakyat, hilangnya sumber-sumber penghidupan, konflik, dan kerusakan lingkungan serta biaya eksternalitas yang harus ditanggung negara dari aktivitas korporasi tersebut.
“Sangat besar kerugian negara dan perekonomian negara dari korupsi SDA ini dan telah banyak kasus yang selama ini dilaporkan oleh WALHI kepada pihak yang berwenang, namun hanya sedikit kasus saja yang diproses dan diadili. Kami melihat Kejaksaan Agung memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa penegakan hukum atas kejahatan lingkungan dan korupsi sumber daya alam berjalan efektif dan tidak ada impunitas bagi para pelaku, karena itu WALHI mendatangi, melakukan audiensi dan pelaporan pada Kejaksaan Agung hari ini,” tambah Zenzi.
Selain melaporkan korporasi dan pihak pemerintah yang terindikasi terlibat dalam praktik korupsi dan gratifikasi, WALHI juga menyampaikan catatan kritisnya terhadap Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, dimana Jampidsus Kejagung menjadi ketua pelaksana Satgas tersebut.
Satgas harus menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal dan koruptif yang mereka lakukan di kawasan hutan. Satgas tidak boleh melakukan penertiban kepada rakyat kecil yang selama ini telah menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan korban dari buruknya tata kelola perizinan di sektor kehutanan.
“Sejak awal kami mengkritik dominasi militer dalam satgas penertiban kawasan hutan ini, berikut dengan substansi peran dan kerjanya yang diatur dalam Perpres. Kekhawatiran terbesar kami, akan banyak rakyat yang menjadi korban penggusuran dan dirampas tanahnya atas nama penertiban Kawasan hutan. Oleh karena itu, WALHI se Indonesia sangat serius mengawasi kerja-kerja Satgas saat ini dan kedepan,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.
WALHI berharap Kejagung dapat memproses laporan yang telah disampaikan, dan WALHI juga terbuka untuk bekerja bersama Kejaksaan Agung, baik di nasional maupun daerah-daerah untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi SDA tersebut. (***)